OMBAK MATATTANGAI By ALHAYA DANYAH PUTRI ILHAM
NAMA : ALHAYA DANYAH PUTRI ILHAM
SEKOLAH : SMP NEGERI 3 MAJENE
PROVINSI : SULAWESI BARAT
JUDUL KARYA : OMBAK MATATTANGAI

OMBAK MATATTANGAI
Malam di Mandar bukan sekadar lahir dari gelap, ia menjelma purba, benangnya disulam para leluhur dengan cahaya, tiap kerlipnya bagai aksara doa yang belum sempat dituntaskan. Di tepi pasir yang dingin oleh hembus angin laut, seorang pemuda berdiri, tubuhnya kecil, namun netra-nya menyibak pekat, seakan menggali sesuatu yang tak kunjung selesai.
Anak salah satu pejabat yang dipindahkan tugas ke Indonesia, Keifer, atau dikenal sebagai Marilalang, nama penggantinya di tanah Mandar, memiliki jantung yang berdebar seperti samudra yang tak terjangkau oleh cakrawala, seolah laut itu sendiri yang menyalakan agni abadi dalam sanubarinya.
Ia memiliki perasaan yang berkecamuk, ia takut keluarganya akan berulah. Di sisi lain, ia senang berada di tanah Indonesia, yang memiliki budaya yang kaya. Khususnya Mandar, ia ingin mempelajari budaya-budaya Mandar, sudah lama ia menginginkan waktu ini tiba.
Marilalang hanya memiliki satu bulan dalam perjalanan menuju kepuasannya. Mandar adalah cinta pertamanya, ia sering melihat nama Andi Depu, Raja Todilaling, Tomakaka, dan masih banyak lagi. Namun, dari sekian banyaknya sejarah Mandar, ia tertarik dengan nama Ammana Wewang. Ia ingin menari pattuqduq, ingin merasakan memakai lipa saqbe, mempelajari bahasa Mandar, mengulik sejarah Mandar, dan mempertahankan budaya Mandar, sebab angin kabar buruk akan segera datang.
“Apa kau mendengarnya?” suara temannya, Kendi, menggema di tengah keheningan yang dalam. Jari telunjuknya terangkat, menunjuk laut yang bergelora, seakan turut merasakan getaran yang terpendam di dalamnya.
“Katanya, diantara riak itu masih ada suara dari meriam Belanda, suara palagan yang tidak pernah selesai. Aku rasa … Ammana Wewang belum benar-benar pergi.” lanjutnya.
“Aku sudah lama mendengar nama itu, keluargaku tidak mempercayai kisahnya.” balas Marilalang.
“Aduh, keluargamu itu. Ya sudahlah, yang penting kamu percaya.” raut wajah Kendi malas.
Marilalang hanya mengangguk, dadanya bergetar. Kisah itu sudah lama mengendap dalam ingatannya, salah satu pejuang negeri yang menggerakkan rakyat Mandar dalam melawan penjajah. Namanya terjaga, bukan hanya pada batu nisan, tetapi mengalir dalam darah setiap masyarakat Mandar, terus berdenyut meski waktu terus berjalan.
Ombak menghantam karang, percikannya menyusun huruf-huruf rahasia di udara. Pusaran air lambat laut menyingkap bayangan lelaki tubuh tegap, netra yang menyala bagai obor yang terperangkap di dalam batu hitam. Songkok Bone bertengger di kepalanya, jubahnya terayun, mengikuti desau malam yang memeluk rahasia kelam.
“Ammana … Wewang?” bisiknya, suaranya hampir terhanyut oleh desau malam.
Bayangan itu tetap diam, menatap laut yang terbentang tak terhingga, ke tempat biru bertemu kelam. Senyum getir melintas di wajahnya, seperti luka lama yang tidak kunjung sembuh, sebuah kisah yang abadi.
Lagu Topole di Balitung mengalun, seakan menemani kesendirian sang pejuang yang sepertinya telah lekang oleh waktu.
Nasuluaq dialangan
Melullung kaeng lotong
Melullung kaeng lotong
Apamo puti-putiqna
Topole di Balitung
Topole di Balitung
Tuppuang bassi mesa tau anggaqna
Paqdami tuppuang bassi
Mesa tau anggaqna
Mesa tau anggaqna
Sappa diaya di lolo bunga kodzaq
Saya akan pergi ke luar
Bagaimana dengan yang lain
Memakai kerudung berkain hitam
Memakai kerudung berkain hitam
Yang datang dari Belitung
Yang datang dari Belitung
Tumpuan besi satu orang sekiranya
Hilangnya tumpuan besi
Satu orang sekiranya
Satu orang sekiranya
Seperti diatas bunga kodzaq
Keesokan harinya, kampung berdenyut dalam persiapan pattuqduq, gendang bertalu seperti jantung Mandar yang dipukul dari dalam bumi, perempuan-perempuan berbaris anggun, kaki mereka menghentak tanah, tangan menari seirama, tiap gerakannya terselip mantra kuno yang sanggup menggetarkan udara, sebuah doa yang lahir bukan dari kata, melainkan dari tubuh yang menjelma lidah leluhur.
“Marilalang, malam ini obor ada di tanganmu.”
Titah tetua itu jatuh seperti palu dewa, seakan menggetarkan tanah. Api berpindah ke genggamannya, menari liar, menggigil seakan tahu bahwa dirinya bukan sekadar nyala, melainkan sumpah.
Masyarakat mengitari pinggir laut, mereka melihat sekumpulan lelaki yang memakai jas.
“Siapa kalian?” sahut salah satu nelayan.
“Kau tak tahu siapa kami? Kalian semua tidak mendengar informasi yang diberikan kemarin?” jawab salah satu lelaki berjas.
Masyarakat kompak terdiam, mereka bertanya-tanya dan mengingat kembali. Mereka mengingat, pemerintah hendak merobek sandeq, mendirikan dermaga baru yang mencekik jantung Mandar, perahu yang bukan sekadar perahu.
“APA KALIAN GILA? KALIAN INGIN MEROBEK JANTUNG NEGERI KAMI?” suaranya menggema.
“TAPI INI DEMI KEMAJUAN TANAH MANDAR!” seru itu meluncur dari salah satu bibir pejabat, seperti gelegar petir yang mengira dirinya adaah cahaya.
Namun, di tepi pantai, nelayan justru mendengarnya sebagai kidung duka, sebuah penghapusan nama dari peta, seakan laut yang selama ini mereka junjung hanyalah halaman kosong untuk diganti ke cetak biru pelabuhan baru.
Balai desa mendadak jadi samudra gaduh, suara-suara bertubrukan, mengaum laksmana ombak badai yang saling menghantam. Kini, ruangan itu bukan sekadar diisi dengan musyawarah, melainkan palagan keyakinan yang saling menerjang tanpa ampun.
“Kalau sandeq mati, apa arti Mandar? Apa arti Mandar jika jantungnya dicabik, dilemahkan bahkan diruntuhkan?” ucap salah satu nelayan, netra-nya menatap tajam, seakan siap menerkam siapapun yang menghalangi jalannya.
“Cukup dengan romantisme! Dermaga baru berarti perut terisi, anak-anak tidak akan lagi merasakan kelaparan.” sahut salah satu pria berjas, suaranya melesat tajam bagai pisau yang menebas sejarah, kebanggaan seolah hanya kayu lapuk yang tak berharga.
Marilalang berdiri di tengah gelombang suara yang saling menghantam, tubuhnya kecil, namun dadanya mendidih bagai air yang tak terbendung. Ingatannya tentang Ammana Wewang muncul, seorang pejuang negeri yang berani melawan meriam dengan tombak bambu, kalah di medan perang, namun abadi dalam sejarah.
Ia ingin melawan pejabat itu, tetapi ia sadar bahwa pejabat itu adalah ayahnya. Ayahnya sudah lama merencanakan pembangunan itu. Marilalang tak tega budaya Mandar digeserkan, tapi dia juga ragu menentang ayahnya.
Hari berganti, angin buruk datang tanpa jeda. Banyak masyarakat yang tunduk pada kompromi, bahkan ada pula yang tega menjual nilai Mandar demi janji-janji kosong. Marilalang terjepit diantaranya. Teman dekatnya di Mandar, Kendi, adalah anak nelayan sederhana dari Labuang. Mereka bertengkar hebat.
“Apa arti semua ini? Marilalang, aku kira kau ingin melihat budaya-budaya Mandar?” netra-nya berkaca-kaca melihat Marilalang.
“Aku juga tidak tahu, aku terjepit, Kendi! Pikiranku lagi kacau, aku juga gak mau Mandar di geserkan.” balasnya sembari mengacak-ngacak rambutnya dengan kasar.
“Bohong! Kamu pasti sudah mengetahui rencana ayahmu itu, aku salah menilaimu ternyata. Ammana Wewang, yang selalu terbayang pada pikiranmu juga pasti akan kecewa melihat negerinya ditekan!” suara Kendi memuncak.
“Ah, sudahlah. Aku mau sendiri, jangan ganggu aku.” suara Marilalang melemah.
Malam itu, di samping sandeq tua, sembari ia memegang obor, bayangan Ammana Wewang kembali menjelma dari pekat.
“Nak.” suaranya bergemuruh dalam dada Marilalang.
“Besi hanya merobek daging, tapi akar yang tercabut mematikan jiwa. Laut ini bukan sekadar asin, tiap ombak adalah mantra, tiap buih adalah doa. Tegakkan keyakinanmu, itulah tombak yang lebih tajam.”
Marilalang menegakkan tubuhnya, obor bergetar, lidah api menjelma janji purba, cahaya yang mengikat janji masa lalu dan masa depan. Malam saat itu terasa dingin, seolah tanah Mandar bergetar.
“Pertahankanlah budaya Mandar, Anakku.” lirihnya.
Bayangan itu menghilang meninggalkan Marilalang di tengah keheningan. Marilalang menelan air liurnya. Ia sadar, jika dia tidak berani, Mandar akan kehilangan jati diri.
Keesokan harinya, masyarakat meramaikan festival terakhir di tanah Mandar. Semua menghadiri festival tersebut, termasuk lelaki berjas yang tempo hari bertemu dengan masyarakat pada saat mengitari laut. Wajah mereka datar, seakan tidak mempunyai semangat untuk melakukan apapun.
“Ayah, aku ingin berbicara.” netra-nya tajam.
“Keifer, sejak kapan kau bisa berbahasa Indonesia?” balas ayahnya.
“Tidak penting, aku hanya ingin berbicara, Ayah.”
“Jangan bilang tentang dermaga? Sudahlah, ayah bosan. Budaya Indonesia terkhususnya di tanah ini tidak sebanding dengan budaya kita, ayah ingin menjadikan tanah ini maju.” kata ayahnya, sembari minum jus jeruk yang disajikan masyarakat.
“Ayah, Indonesia kaya akan budaya yang bernilai, termasuk tanah ini, apa ayah tega? Bagaimana jika budaya kita juga digeserkan? Apa ayah akan menerimanya?” ucap Marilalang.
“Saya setuju, pak. Saya warga asli, dan saya bangga dengan budaya saya saat ini. Bapak boleh tinggal disini, di tanah kami, tapi jangan ganggu warisan asli kami.” suara Kendi tiba tiba muncul.
“Tidak ada sesuatu yang istimewa dengan budaya Mandar, sangat flat dan monoton. Kalian hanya rakyat yang ketinggalan zaman.” sahut ayah Marilalang, netra-nya kini menajam.
“Apa Bapak bercanda?” Kendi memanas.
Lagi dan lagi, jari telunjuk Kendi terangkat, sandeq berlayar dengan indah, diikuti dengan ombak yang menyerupai wajah, yang diyakini masyarakat sebagai penjaga laut. Di sisi lain, beberapa masyarakat Mandar memakai lipa saqbe, mereka menari pattuqduq mengikuti alunan musik caloq, mading di dirikan, menunjukkan sejarah pejuang-pejuang tanah Mandar. Andi depu, Raja Todilaling, bahkan Ammana Wewang, sejarah mereka terpajang.
“Ini … jauh lebih indah dari kebiasaan yang kami lakukan selama ini di luar negeri.” netra-nya berbinar, seakan ingin mencoba dan mewarisi budaya Mandar.
“Exactly! Very Beautiful!” salah satu rombongan pria berjas menyahut.
“Bung, sudahlah, apa aku bilang, Mandar itu indah, jangan diganggu.” teman dekat ayah Marilalang, sembari menunjuk satu persatu kekayaan Mandar yang terpajang nyata.
“Ya, baiklah. Pembangunan dermaga tua akan dibatalkan. Kalian bisa menikmati festival-festival Mandar berikutnya.” jawab ayah Marilalang dengan menghela nafas yang panjang.
Sorak meledak saat mesin-mesin berhenti, pejabat berjas hitam terdiam, tekanan rakyat bersatu bagai badai, yang tak sanggup lagi ia bendung. Sandeq tua akhirnya kembali bernafas, ombak mengangkatnya seperti mengangkat panji kemenangan. Marilalang mengambil obor, dan mengangkatnya tinggi-tinggi, api itu tidak lagi menari bukan lagi sebagai nyala kecil, melainkan cahaya kemenangan Mandar.
“Marilalang … kita berhasil! Maaf ya aku sempat tidak percaya sama kamu.” Kendi mendatangi Marilalang.
“Tidak apa-apa, kamu hebat, Kendi. Ayo kita bersenang-senang.” balas Marilalang dengan raut wajah yang sangat gembira.
Hari-hari berlalu, Marilalang mempelajari banyak nilai-nilai Mandar. Marilalang mencoba menggerakkan sandeq, mempelajari setiap kata dari kitab Lontara, memakai lipa saqbe, dan juga tentu saja mengulik sejarah Ammana Wewang.
Akhirnya, Marilalang kembali ke negeri asalnya. Masyarakat memberinya lipa saqbe khusus, patung kecil berbentuk sandeq, dan yang paling Marilalang tak sabar untuk membacanya adalah sebuah buku sejarah tentang perjuangan Ammana Wewang.
“Nanti balik kesini lagi ya! Jangan lupa buku dari aku dibaca, selamat tinggal!” ucap Kendi, sembari melambaikan tangannya kepada Marilalang.
“Siap! Goodbye Kendi!” balasnya, sembari melambaikan tangan.
Malam itu, langit penuh bintang seolah menulis satu kalimat di cakrawala.
“Da taq lewaq lewaq mappikkiri anu kaiyang, iya tia pikkirri anu parua.”
“Jangan terlalu memikirkan hal-hal yang besar, akan tetapi pikirkan hal-hal yang benar.”
Raja Todilaling : Raja pertama Sulawesi Barat dari Napo.
Andi Depu : Salah satu pejuang Sulawesi Barat dalam melawan penjajah
Ammana Wewang : Salah satu pejuang Mandar dalam melawan penjajah.
Sandeq : Perahu yang dijunjung oleh masyarakat Mandar.
Lipa saqbe : Kain sutra Mandar.
Caloq : Salah satu musik tradisional Mandar.
Topole di Balitung : Lagu yang diciptakan khusus, menggambarkan pejuang Ammana Wewang.
Pattuqduq : Tarian khas Mandar.
Kitab Lontara : Kitab rangkaian kata khas Mandar.
Post a Comment for "OMBAK MATATTANGAI By ALHAYA DANYAH PUTRI ILHAM"