Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Desa yang Penuh Cerita by Alhaya Danyah Putri Ilham


Desa yang Penuh Cerita by Alhaya Danyah Putri Ilham

Desa yang Penuh Cerita

Di sebuah desa yang terdapat di kaki gunung, hidup beberapa keluarga yang memiliki latar belakang yang berbeda. Ada keluarga sukses, dimana kepala keluarga dan istrinya merupakan seorang pedagang besar di desa tersebut. Keluarga cukup di kenal di desa tersebut. Karena, anak dari kedua pedagang ini merupakan lulusan universitas luar negeri. Dan, ada juga keluarga ceria. Ya, sesuai namanya. Keluarga ini selalu tersenyum ramah saat menyapa warga di lingkungan sekitarnya. Namun, dibalik keceriaan keluarga ceria ini, ada perasaan yang tidak tenang menyelimuti kepala keluarga itu. Bagaimana tidak? Hampir setiap hari rentenir terlihat di depan rumah keluarga tersebut.

Di desa ini, terdapat satu tradisi tahunan yang di tunggu-tunggu setiap tahunnya. Yaitu, malam kebersamaan. Sebuah tradisi yang dimana warga berkumpul di balai desa. Di malam kebersamaan ini, warga dapat membagi cerita, makanan dan tawa dengan warga lainnya. Tradisi ini memperkuat ke eratan yang ada pada warga.

Namun, tahun ini, ada sedikit ketegangan yang terasa di desa itu. Warga desa yang biasanya akrab dan saling menyapa dengan senyum yang lebar mulai tampak terpisah-pisah. Beberapa keluarga merasa tersinggung dengan desas-desus yang beredar, sementara yang lain merasa terabaikan. Sebuah ketidaknyamanan kecil mulai tumbuh dan rumor-rumor yang terdengar dari desa sebelah mulai beredar di antara mereka.

“Halah, mung pedagang cilik kok songong?! Dasar ora ngerti isin!” ucap seorang lelaki sembari tertawa.

“Heh, Dip. Kowe lali? Bapakmu duwe utang akeh marang aku. Aku sing nyelamatin toko cilikmu kuwi sadurunge dadi toko gedhe kaya saiki, aku uga sing minjamin dhuwit kanggo bapakmu. Ora nyangka, anake Sadewa ngomong kayak ngono. Percuma kowe sugih, maging tata krama marang wong tuwa ora ana!” balasnya dengan mata melotot.

“Ngapa emange? Masalah?! Sing wis liwat ya ora usah dibahas, kan sing ngutang bapakku, ora aku!” katanya dengan penuh emosi.

“Wis, ojo berantem kayak ngene. Sing ana malah nambah masalah. Sak bentar malam ana acara malam kebersamaan, tapi kowe-kowe malah berantem. Elinga, kowe-kowe isih sedulur iji!” tegas seorang lelaki yang tiba tiba muncul untuk melerai dua pedagang itu.

“Aku ora galem berkeluarga karo anak sing ora nduwe sopan santun kayak ngono!”

“Kowe pikir aku urea galem berkeluarga karo bapak-bapak sing ora ngerti isin kayak kowe? Ora, pak!”

Untuk menghentikan perkelahian kedua pedagang itu, warga berusaha melerai nya. Cukup lama, namun akhirnya perkelahian itu brhenti. Tapi, kedua pedagang itu masih belum juga berdamai.

Pada suatu sore menjelang acara malam kebersamaan, Pak Lengga, kepala kelurga yang sudah tua, mengumpulkan beberapa warga desa untuk berbicara. Dan, di antara para warga, ada dua orang pedagang yang bertengkar tadi siang di pasar. “Kita sudah lama hidup berdampingan dan tak satu pun dari kita yang lebih penting dari yang lain. Keberagaman kita adalah kekuatan bukan terus membiarkan rasa curiga menguasai, maka kita akan kehilangan kebersamaan yang sudah lama kita bangun.”

Pramoedya, seorang pedagang sayur yang terkenal dengan kebaikan hatinya, mengangguk setuju. “Pak Lengga benar. Kita semua memiliki peran penting di desa ini. Tanpa petani, desa ini akan kekurangan makanan. Tanpa pengrajin kayu, rumah-rumah di desa ini tidak akan berdiri. Tanpa pedagang, kita tidak akan bisa mendapatkan kebutuhan sehari-hari. Kita semua saling bergantung.”

Namun, paling membuat hati warga tergetar adalah kata kata Palung, seorang petani muda yang jarang berbicara banyak. “Saya pernah merasa, mungkin saya bukan Sebagian dari mereka yang punya banyak uang atau posisi tinggi,” kata petir, suara sedikit gemetar. “Tapi saya sadar, selama kita saling mendukung, kita semua bisa memiliki tempat di desa ini. Saya tidak bisa bertani tanpa dukungan kalian dan kalian tidak bisa hidup nyaman tanpa makanan yang kami hasilkan.”

Mendengar kata-kata itu, suasana yang tadinya tegang mulai mencair. Warga desa mulai saling menyadari betapa pentingnya mereka satu sama lain, meskipun memiliki latar belakang dan kehidupan yang berbeda-beda. Tak lama setelah pertemuan itu, mereka memutuskan untuk tetap mengadakan acara malam kebersamaan dengan semangat yang baru, penuh kebersamaan dan saling menghargai.

Saat malam tiba, semua warga berkumpul di balai desa. Tersedia berbagai hidangan yang dibawa oleh setiap keluarga, ada tumpeng, kue-kue tradisional dan hidangan khas lainnya. Mereka saling bertukar cerita, tertawa dan menikmati malam yang penuh dengan kehangatan.

“Pak, aku nyuwun ngapunten ya karo omonganku tadi siang. Aku kebawa emosi, aku uga ora ngerti kenapa ora iso ngontrol emosiku..” kata lelaki itu sembari menyodorkan tangannnya kepada seorang lelaki yang berdiri di depannya.

“Iya, ora apa apa. Senajan omonganmu kayak anak sing ora didik karo wong tuwane tadi siang, aku ngerti yen kowen isih nduwe sisi apik. Bapak uga nyuwun ngapunten wis ngawa-ngawa bapakmu, sing wis tilar donya taun kepungkur.” Balasnya sembari membalas sodoran tangan lelaki itu. Mereka pun saling menjabat tangan.

“Nah, ngono yo! Yen kayak ngene kan enak, ora ana sing saling lempar tembung-tembung sing ngedohke. Kayak bocah wae, hahahaha!” ucap Bima, salah satu warga desa dengan nada yang mengejek.

“Meneng, Bim. Masalah tadi siang ora usah digawa-gawa maneh.” Balas salah satu warga.

Mendengar itu, Bima lanngsung diam tak berkutik sembari memakan kue khas tradisional yang ia ambil dari meja sampingnya.

Akhinya, pertengkaran dua pedagang itu berakhir damai. Jika bukan karna malam kebersamaan ini dan nasehat nasehat warga, mungkin hingga saat ini, dua pedagang itu masih belum juga berdamai.

Anak anak bermain di halaman, sementara orang dewasa duduk bersama, berbincang tentang masa depan mereka. Rasa saling menghormati dan menghargai terasa begitu kental. Tak ada lagi rasa cemburu atau ketegangan, hanya kebahagiaan yang hadir karena mereka tahu, tenpa kerukunan, desa ini tak akan sekuat ini.

Malam itu, mereka menyadari bahwa kerukunan bukan hanya tentang saling bekerja sama, teapi juga tentang saling menghargai setiap perbedaan yang ada. Di antara mereka, perbedaan bukan penghalang, melainkan sesuatu yang memperkaya kehidupan bersama.

Sejak malam itu, desa kecil di kaki gunung itu kembali hidup dengan semangat yang lebih kuat. Setiap warga tahu bahwa kerukunan adalah harta yang tak ternilai, yang harus dijaga dan dipelihara. Dan, mereka berjanji untuk selalu berjalan bersama, apapun tantangan yang akan datang.



















































Post a Comment for "Desa yang Penuh Cerita by Alhaya Danyah Putri Ilham"